Dalam rangka mendekatkan pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada
masyarakat dikembangkan pola pengelolaan pertanahan yang disebut
LARASITA (Pasal 12 (1) Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 18 Tahun 2009
tanggal 11 Mei 2009 tentang Larasita Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia). Pelaksanaan Larasita dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sebagai Kantor Pertanahan yang bergerak (mobile
service), yang mendekatkan layanan pertanahan agar masyarakat dapat
melakukan pengurusan tanahnya dengan lebih mudah, lebih cepat dan tanpa
perantara.
Mengawali pelaksanaan Larasita di seluruh wilayah Indonesia, telah di launching oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, yang di acarakan di pelataran Candi Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 16 Desember 2008. Dalam pidatonya Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan slogan Larasita, yaitu "LARASITA, MENJANGKAU YANG TIDAK TERJANGKAU. Pada acara tersebut Bapak Presiden berkenan menyerahkan langsung perangkat utama dan pendukung pelaksanaan Larasita berupa 1 (satu) unit Mobil lengkap dengan perangkat Tehnologi Informasi (IT) dan 2 (dua) unit motor, masing-masing kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Mencermati slogan "LARASITA, MENJANGKAU YANG TIDAK TERJANGKAU", secara harafiah sudah jelas dapat dimengerti maksud dan tujuannya, bahwa dengan pelaksanaan Larasita diharapkan dapat menjangkau hal-hal yang selama ini tidak terjangkau. Kata terjangkau dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya adalah tercapai, terambil, terbeli,terbayar, sebagaimana dicontohkan dalam kalimat dibawah ini :
(Joyo Winoto,Ph.D), antara lain dengan mengembangkan pola pengelolaan pertanahan yang mendekatkan layanan pertanahan kepada masyarakat, melalui LARASITA.
Berangkat dari pemahaman tersebut diatas, maka ukuran keberhasilan dalam pelaksanaan Larasita, adalah bagaimana pelaksanaannya dapat menemukan makna "ke-tidakterjangkau-an" dalam slogan "Larasita, Menjangkau Yang Tidak Terjangkau", dengan perkataan lain bahwa tolak ukur dari keberhasilan pelaksanaan Larasita di kantor-kantor pertanahan Kabupaten/Kota tidak sepenuhnya didasarkan secara kuantitatif, akan tetapi lebih secara kwalitatif, yaitu sejauah mana pelaksanaan Larasita itu dapat menemukan pemaknaan yang sesungguhnya dari "ke-tidakterjangkauan-an" itu sendiri.
h karena itu para pelaksana Larasita, dalam hal ini para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui secara utuh dengan mengidentifikasi hal-hal atau masalah-masalah yang telah, sedang dan akan dihadapi terkait dengan pelaksanaan Larasita di wilayah kerjanya, baik masalah itu dari internalsendiri (antar seksi tehnis) maupun yang ada diluar kantor pertanahan (eksternal), dalam hal ini institusi-institusi yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pelayanan publik di bidang pertanahan, termasuk masyarakat (publik) sebagai pengguna layanan.
Selanjutnya para pelaksana Larasita in casu para Kepala Kantor Pertanahan, sedemikian rupa berdasarkan kewenangannya, diharapkan mempunyai gagasan-gagasan tertentu agar menemukan suatu formula atau rumusan pemecahan masalahnya. Dengan demikian, hal itu dapat menjamin pelaksanaan Larasita berjalan secara efektif dan berkesinambungan, sehingga keberadaan Larasita sungguh-sungguh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum termasuk masyarakat di perkotaan.
Kegiatan operasional Larasita adalah menggunakan kendaraan mobil dan motor dengan dilengkapi seperangkat Tehnologi Informasi (IT), yang dapat menghubungkan secara "On Line" pelayanan pertanahan dari mobil Larasita dengan server KKP (Komputerisasi Kantor Pertanahan), dengan demikian warga masyarakat pengguna layanan tidak perlu datang ke kantor pertanahan (statis), cukup dilayani di lokasi masing-masing yang dikunjungi oleh mobil Larasita, sesuai jadwal kunjungan yg telah ditetapkan.
Slogan "Larasita, Menjangkau Yang Tidak Terjangkau" dikaitkan dengan operasional Larasita tersebut diatas, ternyata telah menimbulkan pemaknaan "ke-tidakterjangkau-an" yang sempit dari kalangan "Kontra Larasita". Hal ini disebabkkan, bahwa kalangan "Kontra Larasita", hanya memaknai "ke-tidakterjangkau-an" itu dari sudut pandang aspek geografissaja, dimana faktor sarana dan prasarana transportasi pada suatu daerah, seolah-olah menjadi kendala utama bagi kantor-kantor pertanahan dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan, utamanya dalam rangka percepatan pendaftaran bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia.
Adalah suatu hal yang wajar jika kehadiran program Larasita BPN-RI, oleh kalangan "Kontra Larasita", semata-mata dianggap hanya untuk mengatasi masalah pelayanan pertanahan dari aspek geografis saja. Dimana dengan Larasita, masyarakat memperoleh kemudahan dalam memperoleh layanan pertanahan, karena masyarakat tidak perlu datang ke kantor pertanahan (statis), melainkan cukup menunggu saja dirumah atau di lokasi-lokasi yang telah ditentukan tempat dan waktunya. Kemudian masyarakat pengguna layanan akan dilayani di mobil Larasita, baik mulai pendaftaran maupun sampai dengan penyerahan produknya.
Akan tetapi pemaknaan "ke-tidakterjangkau-an", ternyata tidak sekedar hanya menjangkau masalah pelayanan pertanahan dari aspek geografis saja. Mungkin hal itu lebih dirasakan masalahanya bagi daerah-daerah di tingkat kabupaten, karena wilayahnya yang luas dengan jarak tempuh dari wilayah-wilayah pedesaan ke kantor pertanahan (statis), sangatlah jauh dan belum seluruhnya sarana maupun prasarana transportasinya memadai. Hal itu membuat masyarakat harus bersusah-payah untuk mendatangi kantor pertanahan (statis), guna memperoleh layanan pertanahan, padahal belum tentu jenis layanan pertanahan yang diperlukan dapat diselesaikan pada hari itu juga, mengakibatkan si pengguna layanan harus kembali lagi datang ke kantor pertanahan (statis), dan tentunya itu menambah beban tersendiri bagi masyarakat.
Disatu pihak, kalangan "Kontra Larasita" beranggapan bahwa pengadaan mobil dan motor LARASITA bagi daerah-daerah di perkotaan atau kota-kota besar, adalah suatu "pemborosan" atau "tidak tepat sasaran"atau setidak-tidaknya "kurang efektif ". Anggapan demikian tentunya sah-sah saja, mengingat aspek geografis bukanlah kendala utama bagi masyarakat di perkotaan untuk memperoleh layanan pertanahan di kantor pertanahan (statis), karena jangkauan atau jarak tempuh dari tempat tinggalnya menuju kantor pertanahan (statis) pada umumnya mudah dijangkau, begitupun sarana dan prasarana transpotasinya pada umumnya telah memadai. Jika masalah aspek geografis saja yang menjadi ukuran dalam memaknai "ke-tidakterjangkau-an" tersebut, jelas hal itu akan menjadi suatu hal yang "kontra produktif" dalam pelaksanaan Larasita di wilayah-wilayah perkotaan. Padahal belum tentu pemaknaan 'ke-tidakterjangkauan-an" dalam slogan Larasita itu, hanya sebatas mengatasi masalah aspek geografis saja. Pemaknaan ini juga didasari pada pemahaman bahwa penyelenggaraan LARASITA di seluruh Indonesia menggunakan biaya yang bersumber dari rakyat melalui APBN, dimana atas fakta tersebut maka sudah selayaknya seluruh anggota masyarakat (tanpa dikotomi pedesaan dan perkotaan), harus pula menikmati manfaat dari keberadaan Larasita itu.
Dengan berbekal pengamatan dan pengalaman yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung dalam melaksanakan Larasita, diketahui bahwa ternyata pemaknaan "ke-tidakterjangkauan-an" dalam slogan Larasita, tidak hanya sekedar mengatasi masalah pelayanan pertanahan dari aspek geografis saja, melainkan telah menemukan pemaknaan "ke-tidakterjangkauan-an" yang sesungguhnya. Pelaksanaan Larasita di Kota Bandung, pada prosesnya mememukan masalah-masalah pelayanan publik di bidang pertanahan yang selama ini tidak terjangkau, dan kemudian melakukan upaya-upaya tertentu dengan seksama, sehingga hal-hal yang selama ini tidak terjangkau menjadi dapat terjangkau.
Dalam rangka menemukan makna "ke-tidakterjangkau-an" yang sesungguhnya, masalah-masalah pelayanan publik di bidang pertanahan yang ditemukan oleh Larasita Kantor Pertanahan Kota Bandung, meliputi aspek-aspek diluar aspek geografis, adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini :
Mengawali pelaksanaan Larasita di seluruh wilayah Indonesia, telah di launching oleh Bapak Presiden Republik Indonesia, yang di acarakan di pelataran Candi Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 16 Desember 2008. Dalam pidatonya Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan slogan Larasita, yaitu "LARASITA, MENJANGKAU YANG TIDAK TERJANGKAU. Pada acara tersebut Bapak Presiden berkenan menyerahkan langsung perangkat utama dan pendukung pelaksanaan Larasita berupa 1 (satu) unit Mobil lengkap dengan perangkat Tehnologi Informasi (IT) dan 2 (dua) unit motor, masing-masing kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Mencermati slogan "LARASITA, MENJANGKAU YANG TIDAK TERJANGKAU", secara harafiah sudah jelas dapat dimengerti maksud dan tujuannya, bahwa dengan pelaksanaan Larasita diharapkan dapat menjangkau hal-hal yang selama ini tidak terjangkau. Kata terjangkau dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya adalah tercapai, terambil, terbeli,terbayar, sebagaimana dicontohkan dalam kalimat dibawah ini :
- Apa-apa yang diletakkan di atas lemari itu "tidak terjangkau" oleh anak saya.
- Harga rumah mewah belum "terbeli" oleh pegawai kecil.
(Joyo Winoto,Ph.D), antara lain dengan mengembangkan pola pengelolaan pertanahan yang mendekatkan layanan pertanahan kepada masyarakat, melalui LARASITA.
Berangkat dari pemahaman tersebut diatas, maka ukuran keberhasilan dalam pelaksanaan Larasita, adalah bagaimana pelaksanaannya dapat menemukan makna "ke-tidakterjangkau-an" dalam slogan "Larasita, Menjangkau Yang Tidak Terjangkau", dengan perkataan lain bahwa tolak ukur dari keberhasilan pelaksanaan Larasita di kantor-kantor pertanahan Kabupaten/Kota tidak sepenuhnya didasarkan secara kuantitatif, akan tetapi lebih secara kwalitatif, yaitu sejauah mana pelaksanaan Larasita itu dapat menemukan pemaknaan yang sesungguhnya dari "ke-tidakterjangkauan-an" itu sendiri.
h karena itu para pelaksana Larasita, dalam hal ini para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui secara utuh dengan mengidentifikasi hal-hal atau masalah-masalah yang telah, sedang dan akan dihadapi terkait dengan pelaksanaan Larasita di wilayah kerjanya, baik masalah itu dari internalsendiri (antar seksi tehnis) maupun yang ada diluar kantor pertanahan (eksternal), dalam hal ini institusi-institusi yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pelayanan publik di bidang pertanahan, termasuk masyarakat (publik) sebagai pengguna layanan.
Selanjutnya para pelaksana Larasita in casu para Kepala Kantor Pertanahan, sedemikian rupa berdasarkan kewenangannya, diharapkan mempunyai gagasan-gagasan tertentu agar menemukan suatu formula atau rumusan pemecahan masalahnya. Dengan demikian, hal itu dapat menjamin pelaksanaan Larasita berjalan secara efektif dan berkesinambungan, sehingga keberadaan Larasita sungguh-sungguh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum termasuk masyarakat di perkotaan.
Kegiatan operasional Larasita adalah menggunakan kendaraan mobil dan motor dengan dilengkapi seperangkat Tehnologi Informasi (IT), yang dapat menghubungkan secara "On Line" pelayanan pertanahan dari mobil Larasita dengan server KKP (Komputerisasi Kantor Pertanahan), dengan demikian warga masyarakat pengguna layanan tidak perlu datang ke kantor pertanahan (statis), cukup dilayani di lokasi masing-masing yang dikunjungi oleh mobil Larasita, sesuai jadwal kunjungan yg telah ditetapkan.
Slogan "Larasita, Menjangkau Yang Tidak Terjangkau" dikaitkan dengan operasional Larasita tersebut diatas, ternyata telah menimbulkan pemaknaan "ke-tidakterjangkau-an" yang sempit dari kalangan "Kontra Larasita". Hal ini disebabkkan, bahwa kalangan "Kontra Larasita", hanya memaknai "ke-tidakterjangkau-an" itu dari sudut pandang aspek geografissaja, dimana faktor sarana dan prasarana transportasi pada suatu daerah, seolah-olah menjadi kendala utama bagi kantor-kantor pertanahan dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan, utamanya dalam rangka percepatan pendaftaran bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia.
Adalah suatu hal yang wajar jika kehadiran program Larasita BPN-RI, oleh kalangan "Kontra Larasita", semata-mata dianggap hanya untuk mengatasi masalah pelayanan pertanahan dari aspek geografis saja. Dimana dengan Larasita, masyarakat memperoleh kemudahan dalam memperoleh layanan pertanahan, karena masyarakat tidak perlu datang ke kantor pertanahan (statis), melainkan cukup menunggu saja dirumah atau di lokasi-lokasi yang telah ditentukan tempat dan waktunya. Kemudian masyarakat pengguna layanan akan dilayani di mobil Larasita, baik mulai pendaftaran maupun sampai dengan penyerahan produknya.
Akan tetapi pemaknaan "ke-tidakterjangkau-an", ternyata tidak sekedar hanya menjangkau masalah pelayanan pertanahan dari aspek geografis saja. Mungkin hal itu lebih dirasakan masalahanya bagi daerah-daerah di tingkat kabupaten, karena wilayahnya yang luas dengan jarak tempuh dari wilayah-wilayah pedesaan ke kantor pertanahan (statis), sangatlah jauh dan belum seluruhnya sarana maupun prasarana transportasinya memadai. Hal itu membuat masyarakat harus bersusah-payah untuk mendatangi kantor pertanahan (statis), guna memperoleh layanan pertanahan, padahal belum tentu jenis layanan pertanahan yang diperlukan dapat diselesaikan pada hari itu juga, mengakibatkan si pengguna layanan harus kembali lagi datang ke kantor pertanahan (statis), dan tentunya itu menambah beban tersendiri bagi masyarakat.
Disatu pihak, kalangan "Kontra Larasita" beranggapan bahwa pengadaan mobil dan motor LARASITA bagi daerah-daerah di perkotaan atau kota-kota besar, adalah suatu "pemborosan" atau "tidak tepat sasaran"atau setidak-tidaknya "kurang efektif ". Anggapan demikian tentunya sah-sah saja, mengingat aspek geografis bukanlah kendala utama bagi masyarakat di perkotaan untuk memperoleh layanan pertanahan di kantor pertanahan (statis), karena jangkauan atau jarak tempuh dari tempat tinggalnya menuju kantor pertanahan (statis) pada umumnya mudah dijangkau, begitupun sarana dan prasarana transpotasinya pada umumnya telah memadai. Jika masalah aspek geografis saja yang menjadi ukuran dalam memaknai "ke-tidakterjangkau-an" tersebut, jelas hal itu akan menjadi suatu hal yang "kontra produktif" dalam pelaksanaan Larasita di wilayah-wilayah perkotaan. Padahal belum tentu pemaknaan 'ke-tidakterjangkauan-an" dalam slogan Larasita itu, hanya sebatas mengatasi masalah aspek geografis saja. Pemaknaan ini juga didasari pada pemahaman bahwa penyelenggaraan LARASITA di seluruh Indonesia menggunakan biaya yang bersumber dari rakyat melalui APBN, dimana atas fakta tersebut maka sudah selayaknya seluruh anggota masyarakat (tanpa dikotomi pedesaan dan perkotaan), harus pula menikmati manfaat dari keberadaan Larasita itu.
Dengan berbekal pengamatan dan pengalaman yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung dalam melaksanakan Larasita, diketahui bahwa ternyata pemaknaan "ke-tidakterjangkauan-an" dalam slogan Larasita, tidak hanya sekedar mengatasi masalah pelayanan pertanahan dari aspek geografis saja, melainkan telah menemukan pemaknaan "ke-tidakterjangkauan-an" yang sesungguhnya. Pelaksanaan Larasita di Kota Bandung, pada prosesnya mememukan masalah-masalah pelayanan publik di bidang pertanahan yang selama ini tidak terjangkau, dan kemudian melakukan upaya-upaya tertentu dengan seksama, sehingga hal-hal yang selama ini tidak terjangkau menjadi dapat terjangkau.
Dalam rangka menemukan makna "ke-tidakterjangkau-an" yang sesungguhnya, masalah-masalah pelayanan publik di bidang pertanahan yang ditemukan oleh Larasita Kantor Pertanahan Kota Bandung, meliputi aspek-aspek diluar aspek geografis, adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.
Aspek Teknis
Internal
Larasita adalah Kantor Pertanahan Bergerak (sebagai Front Office), yang langsung berhadapan melayani masyarakat pengguna layanan. Pelayanan di mobil Larasita On Line dengan server KKP di Kantor Pertanahan (statis), dan pelayanan pertanahan yang tidak dapat diselesaikan di mobil Larasita pada hari itu juga, maka berkasnya akan dibawa dan diselesaikan prosesnya oleh seksi-seksi tehnis di Back Office Kantor Pertanahan (statis) untuk diselesaikan, selanjutnya apabila telah selesai produknya akan diserahkan di mobil Larasita langsung kepada masyarakat pengguna layanan.
Dalam hal ini, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung beserta jajarannya terlebih dahulu menyatukan persepsi atau pemahaman yang sama antara pelaksana Larasita sebagai Front Office di lapangan dengan seksi-seksi tehnis sebagai pelaksana di Back Office, berkaitan dengan mekanisme maupun persyaratan tehnis/yuridis dalam memberikan layanan pertanahan melalui Larasita. Hal ini menjadi sangat penting, manakala masyarakat membutuhkan suatu kepastian dalam memperoleh pelayanan pertanahan, sehingga hal itu tidak menjadi bumerang bagi pelaksana Larasita di lapangan.
Melalui upaya-upaya yang dilakukan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung beserta jajarannya, dalam mengatasi masalah tersebut diatas, ternyata hal-hal yang selama ini tidak terjangkau, mengenai perlunya konsolidasi internal maupun penyatuan persepsi atau pemahaaman dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan, menjadi dapat terjangkau. Penyatuan persepsi tersebut, pada prosesnya bahkan melahirkan motto Larasita untuk Kantor Pertanahan Kota Bandung, yaitu "SATUKAN PEMAHAMAN UNTUK SATU KEPASTIAN"
Larasita adalah Kantor Pertanahan Bergerak (sebagai Front Office), yang langsung berhadapan melayani masyarakat pengguna layanan. Pelayanan di mobil Larasita On Line dengan server KKP di Kantor Pertanahan (statis), dan pelayanan pertanahan yang tidak dapat diselesaikan di mobil Larasita pada hari itu juga, maka berkasnya akan dibawa dan diselesaikan prosesnya oleh seksi-seksi tehnis di Back Office Kantor Pertanahan (statis) untuk diselesaikan, selanjutnya apabila telah selesai produknya akan diserahkan di mobil Larasita langsung kepada masyarakat pengguna layanan.
Dalam hal ini, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung beserta jajarannya terlebih dahulu menyatukan persepsi atau pemahaman yang sama antara pelaksana Larasita sebagai Front Office di lapangan dengan seksi-seksi tehnis sebagai pelaksana di Back Office, berkaitan dengan mekanisme maupun persyaratan tehnis/yuridis dalam memberikan layanan pertanahan melalui Larasita. Hal ini menjadi sangat penting, manakala masyarakat membutuhkan suatu kepastian dalam memperoleh pelayanan pertanahan, sehingga hal itu tidak menjadi bumerang bagi pelaksana Larasita di lapangan.
Melalui upaya-upaya yang dilakukan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung beserta jajarannya, dalam mengatasi masalah tersebut diatas, ternyata hal-hal yang selama ini tidak terjangkau, mengenai perlunya konsolidasi internal maupun penyatuan persepsi atau pemahaaman dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan, menjadi dapat terjangkau. Penyatuan persepsi tersebut, pada prosesnya bahkan melahirkan motto Larasita untuk Kantor Pertanahan Kota Bandung, yaitu "SATUKAN PEMAHAMAN UNTUK SATU KEPASTIAN"
2. Aspek Koordinatif Eksternal
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah, bahwa tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Akan tetapi, dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan, baik secara langsung maupun tidak langsung akan melibatkan nstitusi-institusi yang terkait, seperti Walikota beserta jajarannya (Sekda, Camat/PPATs dan Lurah) serta PPAT/Notaris.
Masalah koordinasi merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan, guna menyatukan persepsi atau pemahaman yang sama, dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan kepada masyarakat. Koordinasi juga bisa dilakukan dalam rangka penyampaian program-program dan kebijakan pertanahan baik yang sifatnya nasional maupun yang khusus dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Bandung.
Dalam rangka memberikan pelayanan publik dibidang pertanahan, sebaiknya harus ada satu persepsi atau pemahaman yang sama antara kantor pertanahan dengan institusi-institusi terkait, karena pelayanan pertanahan kepada masyarakat harus "satu garis lurus", agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang sama, sehingga semua layanan pertanahan menjadi lebih jelas dan tidak membingungkan.
Berkaitan dengan pelaksanaan Larasita, Bapak Walikota Bandung telah memerintahkan kepada seluruh Camat beserta jajarannya (para Lurah) agar mendukung kelancaran program Larasita, sesuai dengan suratnya No.594.3/SE.063-Pem.Um tanggal 23 Jui 2009.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah, bahwa tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Akan tetapi, dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan, baik secara langsung maupun tidak langsung akan melibatkan nstitusi-institusi yang terkait, seperti Walikota beserta jajarannya (Sekda, Camat/PPATs dan Lurah) serta PPAT/Notaris.
Masalah koordinasi merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan, guna menyatukan persepsi atau pemahaman yang sama, dalam memberikan pelayanan publik di bidang pertanahan kepada masyarakat. Koordinasi juga bisa dilakukan dalam rangka penyampaian program-program dan kebijakan pertanahan baik yang sifatnya nasional maupun yang khusus dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Bandung.
Dalam rangka memberikan pelayanan publik dibidang pertanahan, sebaiknya harus ada satu persepsi atau pemahaman yang sama antara kantor pertanahan dengan institusi-institusi terkait, karena pelayanan pertanahan kepada masyarakat harus "satu garis lurus", agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang sama, sehingga semua layanan pertanahan menjadi lebih jelas dan tidak membingungkan.
Berkaitan dengan pelaksanaan Larasita, Bapak Walikota Bandung telah memerintahkan kepada seluruh Camat beserta jajarannya (para Lurah) agar mendukung kelancaran program Larasita, sesuai dengan suratnya No.594.3/SE.063-Pem.Um tanggal 23 Jui 2009.
3. Antusiasme Publik (Masyarakat)
3.1. Aspek Psikologis
Secara psikologis,
ditemukan beberapa alasan mengapa masyarakat enggan untuk datang
langsung ke kantor pertanahan (statis), guna memperoleh layanan
pertanahan, antara lain:
a. Adanya sebagian masyarakat yang membayangkan dalam benak
pikirannya, bahwa pengurusan sertipikat tanah itu berbelit-belit,
sehingga mereka ketakutan jangan-jangan tanah mereka ternyata tidak bisa
didaftar dengan sebab-sebab yang bahkan tidak diketahui secara jelas.
b. Adanya sebagian masyarakat yang membayangkan dalam benak
pikirannya, bahwa pengurusan sertipikat tanah itu mahal, sehingga mereka
ketakutan jangan-jangan uangnya tidak cukup.
c. Adanya sebagian masyarakat yang membayangkan dalam benak
pikirannya, bahwa pengurusan sertipikat tanah itu lama, sehingga
mereka ketakutan jangan-jangan persyaratan yang harus dipenuhi terlalu
sulit.
d. Belum lagi membayangkan petugas-petugas yang bakal dihadapinya,
jangan-jangan petugas akan melempar persoalannya kesana-kemari atau di
ping-pong.
e. Ada juga sebagian masyarakat yang trauma, dikarenakan
pernah tertipu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dimana
masyarakat telah menyerahkan bukti-bukti pemilikannya beserta biaya yang
diperlukan namun ternyata sertipikatnya tak kunjung selesai, bahkan
yang lebih mengenaskan lagi, berkas data-data kepemilikannya pun tidak
kunjung kembali.
Dari alasan-alasan tersebut diatas, dapat
diketahui bahwa hambatan psikologis akan dapat diatasi dengan penyebaran
informasi yang akurat tentang pelayanan pertanahan. Selama ini,
masyarakat hanya mendapatkan informasi tentang layanan pertanahan sampai
pada level kedetilan tertentu, dimana level kedetilan yang lebih
mendasar disimpan atau dibiaskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Dengan keberadaan Larasita, informasi yang sebelumnya hanya bisa
dijangkau sampai kedetilan yang terbatas saja, sekarang bisa diakses
seluas-luasnya dan sampai pada tingkat kedetilan yang seharusnya.
3.2. Aspek Formalitas
Secara formal,
masyarakat ternyata juga memiliki kendala yang menyebabkan enggan untuk
datang langsung ke kantor pertanahan (statis), guna memperoleh layanan
pertanahan. Sebagian masyarakat ditengarai merasa kurang nyaman dengan
hal-hal formal. Misalnya, untuk datang ke kantor pertanahan (statis)
harus dengan berpakaian rapih dan bersepatu, belum lagi harus memahami
istilah-istilah formal di kantor, seperti: Pengakuan Hak, Penegasan Hak,
Konversi, Peralihan Hak, Roya atau Hak Tanggungan dan lain-lain.
Dengan kehadiran
Larasita, masyarakat dapat menggunakan layanan pertanahan dengan leluasa
dan lepas dari hal-hal formal. Dengan Larasita, masyarakat dapat
mengakses layanan pertanahan dengan nyaman meskipun mengenakan
kaos/celana pendek dan sendal jepit. Lebih dari itu, masyarakat dapat
leluasa dengan gaya dan bahasa yang dianut oleh budayanya,
berkomunikasi dengan petugas Larasita tentang layanan-layanan
pertanahan.
3.3. Aspek
Sosial dan Ekonomi
Adanya sebagian
masyarakat di perkotaan, akibat laju pembangunan gedung-gedung
bertingkat sebagai sarana perkantoran, perniagaan, perhotelan dll,
mengakibatkan masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah-kebawah menjadi
ter-marginal-kan.
Masalah yang mungkin
banyak dihadapi masyarakat marginal maupun miskin perkotaan,
adalah mahalnya biaya pengurusan untuk melengkapi persyaratan
pendaftaran tanah, seperti pembuatan akta dan lain sebagainya.
Dengan pelayanan yang
mendekatkan langsung ke masyarakat, Petugas Larasita dapat melakukan pendampingan dan akses
reform (penataan akses) untuk mencarikan solusi bagi masalah
yang dihadapi masyarakat marginal maupun miskin perkotaan tersebut,
melalui "approach sistem" dengan pihak-pihak yang berwenang untuk
itu.
Kepala Kantor Pertanahan
juga melakukan koordinasi dengan Walikota beserta jajarannya
(Camat selaku PPATS dan Lurah), untuk satu persepsi atau pemahamandalam
menyikapi masalah yang dihadapi masyarakat marginal dan miskin perkotaan,
sehingga mereka dapat memperoleh kemudahan dalam pengurusan sertipikat
tanahnya.
3.4. Aspek
Kesadaran Masyarakat
Masih terdapat sebagian
masyarakat perkotaan yang masih rendah pemahamannya mengenai arti
pentingnya sertipikat tanah, sebagai bukti kepemilikan yang sah atas
tanah, yang menjamin kepastian hukum hak atas tanahnya, serta dapat
dijadikan sebagai jaminan pinjaman/permodalan (nilai ekonomis).
Selain itu, terdapat
juga sebagian masyarakat, yang enggan mendaftarkan tanahnya untuk
disertipikatkan, karena mereka memang tidak begitu merasakan manfaat
sertipikat tanah dan membandingkan antara manfaatnya dengan usaha untuk
memperoleh sertipikat tanah itu, tidak sepadan.
Melalui Petugas Larasita
dilapangan, masyarakat dapat secara terus-menerus diberikan pencerahan
dan informasi melalui sosiolisasi/penyuluhan langsung, mengenai arti
pentingnya sertipikat tanah. Kepada masyarakat juga disampaikan hal-hal
tentang kekuatan hukum dan keuntungan-keuntungan atas tanah
bersertipikat dengan tanah yang belum bersertipikat, dengan demikian
diharapkan hal itu dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
mendaftarkan tanahnya.
3.5. Aspek Fisik Masyarakat
Undang-Undang Pokok
Agraria, menjamin adanya keadilan bagi seluruh masyarakat berkaitan
dengan pemilikan tanah, oleh karena itu kantor-kantor pertanahan tidak
boleh diskriminatif dalam memberikan pelayanan pertanahan kepada
masyarakat.
Bagi masyarakat yang
keadaan fisiknya baik (normal), tentu tidak mempunyai masalah yang
berarti untuk memperoleh layanan pertanahan di kantor pertanahan statis.
Sebaliknya bagi masyarakat tertentu yang memiliki kekurangan secara
fisik, seperti penderita stroke, tuna-netra, penderita
authise dll), hal itu menjadi masalah. Mereka enggan (malu) untuk
mendatangi kantor pertanahan statis dalam mengurus hak kepemilikan
tanahnya, padahal sejatinya mereka juga berhak memperoleh layanan
pertanahan. Larasita Kantor Pertanahan Kota Bandung, menemukan fakta
dalam memberikan layanan pertanahan kepada masyarakat yang mengalami
cacat fisik (tidak normal) tersebut.
Petugas Larasita Kantor
Pertanahan Kota Bandung dalam melaksanakan tugas penyerahan produk
sertipikat, pernah menemukan fakta ketika mendatangi langsung rumah
tempat tinggal peserta layanan Larasita atas nama Oom Romlah di
Jalan Sasakgantung No.30, Rt.01/05 Kelurahan Balong Gede, Kecamatan
Regol. Ternyata tanpa diduga sama sekali, bahwa si Penerima sertipikat
tersebut adalah seorang pensiunan guru, berusia + 73 tahun dan sedang
menderita penyakit stroke. Melihat keadaan yang demikian, Petugas
Larasita kemudian mendekatkan mobil Larasita dan menjemput si Ibu untuk
menerima sertipikatnya serta memapahnya ke loket Mobil Larasita. Ibu Oom
Romlah dengan semangat dan wajah sumringah, menerima
langsung setipikat tanahnya, yang ternyata selama ini Ibu
Oom Romlah sebagai seorang yang telah menjanda selama 20 tahun, sangat
mendambakan tanah yang bakal diwariskannya itu dapat bersertipikat.
Selanjutnya Ibu Oom Romlah menyatakan terima-kasih
kepada Petugas Larasita dan merasa tenang karena tanahnya telah
memiliki sertipikat.
Ibarat kata pepatah "Lain
lubuk-lain ikannya", lain yang dihadapi di Kelurahan Balong Gede,
lain lagi yang dihadapi Petugas Larasita Kantor Pertanahan Kota Bandung
di Kelurahan Pajajaran. Di Kelurahan Pajajaran, Larasita Kantor
Pertanahan Kota Bandung, menyaksikan fakta yang lain lagi, dimana
Petugas Larasita ketika menyerahkan produk sertipikat di Kelurahan
Pajajaran tersebut, ternyata mendapati 2 (dua) orang dari sekian banyak
penerima sertipikat, yang memiliki cacat fisik, yaitu penderita
tuna-netra (Ibu Siti Aminah) dengan profesi sebagai tukang pijit. Yang
satu lagi adalah Agus Zakaria seorang penderita authies, menurut cerita
seorang ibu yang mendampinginya, bahwa Agus Zakaria memperoleh tanah
tersebut, berdasarkan hibah dari Neneknya dengan maksud tanah itu dapat
sebagai bekal hidupnya Agus Zakaria, sebagai cucu yang memiliki
kekurangan fisik.
Dari uraian tersebut diatas,
kiranya pemaknaan "ke-tidakterjangkau-an" yang dimaksud dalam
slogan "Larasita, Menjangkau Yang Tidak Terjangkau", yang
diamanatkan Bapak Presiden RI, dapat semakin dipahami sebagai bahan
kajian atau pertimbangan yang lebih dalam lagi, oleh para pelaksana
Larasita in casu para Kepala Kantor Pertanahan beserta
jajarannya, sehingga menjamin pelaksanaan Larasita dapat dilaksanakan
dengan baik.
Dengan pelaksanaan Larasita yang
baik di seluruh Indonesia, sudah barang tentu, hal itu sangat didambakan
oleh masyarakat "kebanyakan", yang umumnya memiliki
masalah-masalah dari berbagai aspek tersebut diatas, dan sesungguhnya
Larasita adalah solusi dari masalah-masalah itu, sebagaimana
makna yang terkandung dalam slogan Larasita.
Selain itu, dengan pelaksanaan
Larasita secara menyeluruh di Indonesia, dengan berbagai inovasinya,
yang disesuaikan pada keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing, tentu
akan memberikan kontribusi positif bagi penilaian kinerja Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sehingga mendukung aquntabilitas pelayanan
publik dibidang pertanahan melalui program Larasita BPN-RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar